SMS GRATIS ALL OPERATOR INDONESIA

Selasa, 05 April 2011

sunan bonang

berbagai sumber disebutkan
bahwa Sunan Bonang itu
nama aslinya adalah Syekh
Maulana Makhdum Ibrahim.
Putra Sunan Ampel dan Dewi
Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila.
Ada yang mengatakan Dewi
Condrowati itu adalah putri
Prabu Kertabumi ada pula
yang berkata bahwa Dewi
Condrowati adalah putri angkat Adipati Tuban yang
sudah beragama Islam yaitu
Ario Tejo. Sebagai seorang Wali yang
disegani dan dianggap Mufti
atau pemimpin agama se
Tanah Jawa ,tentu saja Sunan
Ampel mempunyai ilmu yang
sangat tinggi. Sejak kecil, Raden Makdum
Ibrahim sudah diberi pelajaran
agama Islam secara tekun dan
disiplin . Sudah bukan rahasia
lagi bahwa latihan atau riadha
para Wali itu lebih berat dari pada orang awam. Raden
Makdum Ibrahim adalah calon
Wali yang besar , maka Sunan
Ampel sejak dini juga
mempersiapkan sebaik
mungkin . Disebutkan dari berbagai literature bahwa
Raden Makdum Ibrahim dan
Raden Paku sewaktu masih
remaja meneruskan pelajaran
agama Islam hingga ke Tanah
seberang ,yaitu Negeri Pasai . Keduanya menambah
pengetahuan kepada Syekh
Awwalul Islam atau ayah
kandung dari Sunan Giri,juga
belajar kepada para ulama
besar yang banyak menetap di Negeri Pasai .Seperti ulama
ahli tasawuf yang berasal dari
Bagdad, Mesir , Arab dan Persi
atau Iran. Sesudah belajar di
Negeri Pasai, Raden Makdum
Ibrahim dan Raden Paku pulang keJawa. Raden Paku
kembali ke Gresik, mendirikan
pesantren di Giri sehingga
terkenal sebagai Sunan Giri . Sedang Raden Makdum
Ibrahim diperintahkan Sunan
Ampel untuk berdakwah
diTuban. Dalam berdakwa
Raden Makdum Ibrahim ini
sering mempergunakan kesenian rakyat untuk
menarik simpati mereka,
yaitu berupa seperangkat
gamelan yang disebut Bonang. Bonang adalah sejenis
kuningan yang ditonjolkan
dibagian tengahnya . Bila
benjolan itu dipukul dengan
kayu lunak maka timbullah
suaranya yang merdu ditelinga penduduk setempat .
Lebih –lebih bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang
membunyikan alat musik itu,
beliau adalah seorang Wali
yang mempunyai cita rasa
seni yang tinggi, sehingga
beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi para
pendengarnya . Setiap Raden
Makdum Ibrahim
membunyikan Bonang, pasti
banyak penduduk yang
datang ingin mendengarkannya . Dan tidak
sedikit dari mereka yang ingin
belajar membunyikan Bonang
sekaligus melagukan tembang
– tembang ciptaan Raden Makdum Ibrahim. Begitulah siasat Raden
Makdum Ibrahim yang
dijalankan penuh
kesabaran.Setelah rakyat
berhasil direbut simpatinya
tinggal mengisikan saja ajaran Islam kepada mereka. Tembang-tembang yang
diajarkan Raden Makdum
Ibrahim adalah tembang yang
berisikan ajaran agama
Islam.Sehingga tanpa terasa
penduduk sudah mempelajari agama Islam dengan senang
hati, bukan dengan paksaan. Diantara tembang yang
terkenal ialah : “Tamba ati iku sak warnane, Maca Qur’an angen-angen sak maknane,
Kaping pindho shalat sunah
lakonona,
Kaping telu wong kang saleh
kancanana,
Kaping papat kudu wetheng ingkang luwe,
Kaping lima dzikir wengi
ingkang suwe,
Sopo wongé bisa ngelakoni,
Insya Allah Gusti Allah
nyemba dani. Artinya :
Obat sakit jiwa ( hati ) itu ada
lima jenisnya.
Pertama membaca Al-Qur ’an dengan artinya,
Kedua mengerjakan shalat
malam ( sunnah Tahajjud ),
Ketiga sering bersahabat
dengan orang saleh
( berilmu ), Keempat harus sering
berprihatin ( berpuasa ),
Kelima sering berdzikir
mengingat Allah di waktu
malam,
Siapa saja mampu mengerjakannya, Insya Allah
Tuhan Allah mengabulkan. Hingga sekarang lagi ini sering
dilantunkan para santri ketika
hendak shalat jama ’ah, baik di pedesaan maupun
dipesantren. Murid-murid
Raden Makdum Ibrahim ini
sangat banyak, baik yang
berada di Tuban, Pulau
Bawean, Jepara maupun Madura. Karena beliau sering
mempergunakan Bonang
dalam berdakwah maka
masyarakat memberinya
gelar Sunan Bonang. Beliau
juga menciptakan karya sastra yang disebut
Suluk .Hingga sekarang karya
sastra Sunan Bonang itu
dianggap sebagai karya yang
sangat hebat, penuh
keindahan dan makna kehidupan beragama. Suluk
Sunan Bonang disimpan rapi di
Perpustakaan Universitas
Leiden, Belanda . (Nederland ) Pada masa hidupnya, Sunan
Bonang termasuk penyokong
kerajaan Islam Demak, dan
ikut membantu mendirikan
Masjid Agung Demak. Oleh
masyarakat Demak ketika itu, ia dikenal sebagai pemimpin
bala tentara Demak. Dialah
yang memutuskan
pengangkatan Sunan
Ngudung sebagai panglima
tentara Islam Demak. Ketika Sunan Ngudung gugur,
Sunan Bonang pula yang
mengangkat Sunan Kudus
sebagai panglima perang.
Nasihat yang berharga
diberikan pula pada Sunan Kudus tentang strategi perang
menghadapi Majapahit. Selain
itu, Sunan Bonang dipandang
adil dalam membuat
keputusan yang memuaskan
banyak orang, melalui sidang- sidang ”pengadilan” yang dipimpinnya. Misalnya dalam kisah
pengadilan atas diri Syekh Siti
Jenar, alias Syekh Lemah
Abang. Lokasi ”pengadilan” itu sendiri punya dua versi.
Satu versi mengatakan, sidang
itu dilakukan di Masjid Agung
Kasepuhan, Cirebon. Tapi, versi
lain menyebutkan, sidang itu
diselenggarakan di Masjid Agung Demak. Sunan Bonang
juga berperan dalam
pengangkatan Raden Patah. Dalam menyiarkan ajaran
Islam, Sunan Bonang
mengandalkan sejumlah
kitab, antara lain Ihya
Ulumuddin dari al-Ghazali, dan
Al-Anthaki dari Dawud al- Anthaki. Juga tulisan Abu
Yzid Al-Busthami dan Syekh
Abdul Qadir Jaelani. Ajaran
Sunang Bonang, menurut
disertasi JGH Gunning dan
disertasi BJO Schrieke, memuat tiga tiang agama:
tasawuf, ussuludin, dan fikih. Ajaran tasawuf, misalnya,
menurut versi Sunan Bonang
menjadi penting karena
menunjukkan bagaimana
orang Islam menjalani
kehidupan dengan kesungguhan dan
kecintaannya kepada Allah.
Para penganut Islam harus
menjalankan, misalnya, salat,
berpuasa, dan membayar
zakat. Selain itu, manusia harus menjauhi tiga musuh
utama: dunia, hawa nafsu, dan
setan. Untuk menghindari ketiga
”musuh” itu, manusia dianjurkan jangan banyak
bicara, bersikap rendah hati,
tidak mudah putus asa, dan
bersyukur atas nikmat Allah.
Sebaliknya, orang harus
menjauhi sikap dengki, sombong, serakah, serta gila
pangkat dan kehormatan.
Menurut Gunning dan
Schrieke, naskah ajaran Sunan
Bonang merupakan naskah
Wali Songo yang relatif lebih lengkap. Ajaran wali yang lain tak
ditemukan naskahnya, dan
kalaupun ada, tak begitu
lengkap. Di situ disebutkan
pula bahwa ajaran Sunan
Bonang berasal dari ajaran Syekh Jumadil Kubro,
ayahanda Maulana Malik
Ibrahim, yang menurunkan
ajaran kepada Sunan Ampel,
Sunan Bonang, Sunan Drajat,
Sunan Kalijaga, dan Sunan Muria. Dikisahkan beliau pernah
menaklukkan seorang
pemimpin perampok dan
anak buahnya hanya
mempergunakan tambang
dan gending. Dharma dan irama Mocopa,t Begitu
gending ditabuh Kebondanu
dan anak buahnya tidak
mampu bergerak, seluruh
persendian mereka seperti
dilolosi dari tempatnya. Sehingga gagallah mereka
melaksanakan niat jahatnya. “Ampun ………. hentikanlah bunyi gamelan itu, kami tidak
kuat !” Demikian rintih Kebondanu dan anak
buahnya. “Gending yang kami bunyikan sebenarnya tidak
berpengaruh buruk terhadap
kalian jika saja hati kalian
tidak buruk dan jahat. ” “Ya, kami menyerah, kami tobat !Kami tidak akan
melakukan perbuatan jahat
lagi, tapi ………. “ Kebondanu ragu meneruskan ucapannya. “Kenapa Kebondanu, teruskan ucapanmu !” ujar Sunan Bonang. “Mungkinkah Tuhan mengampuni dosa-dosa kami
yang sudah tak terhitung lagi
banyaknya, ” kata Kebondanu dengan ragu. “Kami sudah sering merampok, membunuh
dan melakukan tindak
kejahatan lainnya. ” “Pintu tobat selalu terbuka bagi siapa saja, ” kata Sunan Bonang. “Allah adalah Tuhan Yang Maha Pengampun dan
Penerima tobat. ” “Walau dosa kami setinggi gunung ?” Tanya Kebondanu. “Ya, walau dosamu setinggi gunung dan sebanyak pasir
dilaut. ” Akhirnya Kebondanu benar-
benar bertobat dan menjadi
murid Sunan Bonang yang
setia. Demikian pula anak
buahnya. Pada suatu ketika
juga ada seorang Brahmana sakti dari India yang berlayar
ke Tuban. Tujuannya hendak
mengadu kesaktian dan
berdebat tentang masalah
keagamaan dengan Sunan
Bonang. Namun ketika ia berlayar menuju Tuban,
perahunya terbalik dihantam
badai. Walaupun ia dan para
pengikutnya berhasil
menyelamatkan diri kitab-
kitab referensi yang hendak dipergunakan untuk berdebat
dengan Sunan Bonang telah
tenggelam ke dasar laut. Di
tepi pantai mereka melihat
seorang lelaki berjubah putih
sedang berjalan sembari membawa tongkat. Mereka
menghentikan lelaki itu dan
menyapanya. Lelaki berjubah
putih itu menghentikan
langkah dan menancapkan
tongkatnya ke pasir. “Saya datang dari India hendak mencari seorang
ulama besar bernama Sunan
Bonang.”kata sang Brahmana. “Untuk apa Tuan mencari Sunan Bonang?” tanya lelaki itu . “Akan saya ajak berdebat tentang masalah
keagamaan ,kata sang
Brahmana .”Tapi sayang kitab –kitab yang saya bawa telah tenggelam kedasar laut . ” Tanpa banyak bicara lelaki itu
mencabut tongkatnya yang
menancap dipasir ,mendadak
tersemburlah air dari lubang
tongkat itu, membawa keluar
semua kitab yang dibawa sang Brahmana. “Itukah kitab-kitab Tuan yang tenggelam kedasar
laut?” Tanya lelaki itu. Sang Brahmana dan
pengikutnya memeriksa
kitab-kitab itu. Ternyata
benar miliknya sendiri.
Berdebarlah hati sang
Brahmana sembari menduga- duga siapa sebenarnya lelaki
berjubah putih itu. “Apakah nama daerah tempat saya terdampar ini ?” tanya sang Brahmana “Tuan berada dipantai Tuban !”jawab lelaki itu .Serta merta Brahmana dan para
pengikutnya menjatuhkan
diri berlutut dihadapan lelaki
itu .Mereka sudah dapat
mendiga pastilah lelaki
berjubah putih itu adalah Sunan Bonang sendiri. Siapalagi orang sakti berilmu
tinggi yang berada dikota
Tuban selain Sunan
Bonang .Sang Brahmana tidak
jadi melaksanakan niatnya
menantang Sunan Bonang untuk adu kesaktian dan
mendebat masalah
keagamaan, malah kemudian
ia berguru kepada Sunan
Bonang dan menjadi pengikut
Sunan Bonang yang setia. Sunan Bonang wafat di Pulau
Bawean, pada 1525. Saat akan
dimakamkan, ada perebutan
antara warga Bawean dan
warga Bonang, Tuban. Warga
Bawean ingin Sunan Bonang dimakamkan di pulau mereka,
karena sang Sunan sempat
berdakwah di pulau utara
Jawa itu. Tetapi, warga Tuban
tidak mau terima. Pada malam
setelah kematiannya, sejumlah murid dari Bonang
mengendap ke Bawean,
”mencuri” jenazah sang Sunan. Esoknya, dilakukanlah
pemakaman. Anehnya,
jenazah Sunan Bonang tetap
ada, baik di Bonang maupun di
Bawean! Karena itu, sampai
sekarang, makam Sunan Bonang ada di dua tempat.
Satu di Pulau Bawean, dan
satunya lagi di sebelah barat
Masjid Agung Tuban, Desa
Kutareja, Tuban. Kini kuburan
itu dikitari tembok dengan tiga lapis halaman. Setiap
halaman dibatasi tembok
berpintu gerbang. Adalagi legenda aneh tentang
Sunan Bonang . Sewaktu beliau wafat,
jenasahnya hendak dibawa ke
Surabaya untuk dimakamkan
disamping Sunan Ampel yaitu
ayahandanya .Tetapi kapal
yang digunakan mengangkut jenazahnya tidak bisa
bergerak sehingga terpaksa
jenazahnya Sunan Bonang
dimakamkan di Tuban yaitu
disebelah barat Masjid Jami
’Tuban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar