SMS GRATIS ALL OPERATOR INDONESIA

Selasa, 05 April 2011

sunan ampel

PRABU Sri Kertawijaya tak
kuasa memendam gundah.
Raja Majapahit itu risau
memikirkan pekerti
warganya yang bubrah tanpa
arah. Sepeninggal Prabu Hayam Wuruk dan Mahapatih
Gajah Mada, kejayaan
Majapahit tinggal cerita pahit.
Perang saudara berkecamuk di
mana-mana. Panggung judi,
main perempuan, dan mabuk- mabukan menjadi
”kesibukan ” harian kaum bangsawan –pun rakyat kebanyakan. Melihat beban berat suaminya,
Ratu Darawati merasa wajib
urun rembuk. ”Saya punya keponakan yang ahli
mendidik kemerosotan budi
pekerti, ” kata permaisuri yang juga putri Raja Campa
itu. ”Namanya Sayyid Ali Rahmatullah, putra Kakanda
Dewi Candrawulan, ” Darawati menambahkan. Tanpa berpikir
panjang, Kertawijaya
mengirim utusan, menjemput
Ali Rahmatullah ke Campa – kini wilayah Kamboja. Ali Rahmatullah inilah yang
kelak lebih dikenal sebagai
Sunan Ampel. Cucu Raja
Campa itu adalah putra kedua
pasangan Syekh Ibrahim
Asmarakandi dan Dewi Candrawulan. Ayahnya,
Syekh Ibrahim, adalah
seorang ulama asal
Samarkand, Asia Tengah.
Kawasan ini melahirkan
beberapa ulama besar, antara lain perawi hadis Imam
Bukhari. Ibrahim berhasil
mengislamkan Raja Campa. Ia
kemudian diangkat sebagai
menantu. Sejumlah sumber
sejarah mencatat silsilah
Ibrahim dan Rahmatullah, yang sampai pada Nabi
Muhammad lewat jalur Imam
Husein bin Ali. Tarikh Auliya
karya KH Bisri Mustofa
mencantumkan nama
Rahmatullah sebagai keturunan Nabi ke-23. Ia diperkirakan lahir pada
1420, karena ketika berada di
Palembang, pada 1440, sebuah
sumber sejarah menyebutnya
berusia 20 tahun. Soalnya,
para sejarawan lebih banyak mendiskusikan tahun
kedatangan Rahmatullah di
Pulau Jawa. Petualang
Portugis, Tome Pires, menduga
kedatangan itu pada 1443. Hikayat Hasanuddin
memperkirakannya pada
sebelum 1446 –tahun kejatuhan Campa ke tangan
Vietnam. De Hollander menulis,
sebelum ke Jawa,
Rahmatullah
memperkenalkan Islam
kepada Raja Palembang, Arya Damar, pada 1440. Perkiraan
Tome Pires menjadi
bertambah kuat. Dalam
lawatan ke Jawa,
Rahmatullah didampingi
ayahnya, kakaknya (Sayid Ali Murtadho), dan
sahabatnya (Abu Hurairah). Rombongan mendarat di kota
bandar Tuban, tempat mereka
berdakwah beberapa lama,
sampai Syekh Asmarakandi
wafat. Makamnya kini masih
terpelihara di Desa Gesikharjo, Palang, Tuban. Sisa rombongan
melanjutkan perjalanan ke
Trowulan, ibu kota Majapahit,
menghadap Kertawijaya. Di
sana, Rahmatullah
menyanggupi permintaan raja untuk mendidik moral para
bangsawan dan kawula
Majapahit. Sebagai hadiah, ia diberi tanah
di Ampeldenta, Surabaya.
Sejumlah 300 keluarga
diserahkan untuk dididik dan
mendirikan permukiman di
Ampel. Meski raja menolak masuk Islam, Rahmatullah
diberi kebebasan
mengajarkan Islam pada
warga Majapahit, asal tanpa
paksaan. Selama tinggal di
Majapahit, Rahmatullah dinikahkan dengan Nyai
Ageng Manila, putri
Tumenggung Arya Teja,
Bupati Tuban. Sejak itu, gelar pangeran dan
raden melekat di depan
namanya. Raden Rahmat
diperlakukan sebagai keluarga
keraton Majapahit. Ia pun
makin disegani masyarakat. Pada hari yang ditentukan,
berangkatlah rombongan
Raden Rahmat ke Ampel. Dari
Trowulan, melewati Desa
Krian, Wonokromo, berlanjut
ke Desa Kembang Kuning. Di sepanjang perjalanan, Raden
Rahmat terus melakukan
dakwah. Ia membagi-bagikan kipas
yang terbuat dari akar
tumbuhan kepada penduduk.
Mereka cukup mengimbali
kipas itu dengan
mengucapkan syahadat. Pengikutnya pun bertambah
banyak. Sebelum tiba di
Ampel, Raden Rahmat
membangun langgar (musala)
sederhana di Kembang
Kuning, delapan kilometer dari Ampel. Langgar ini kemudian menjadi
besar, megah, dan bertahan
sampai sekarang –dan diberi nama Masjid Rahmat.
Setibanya di Ampel, langkah
pertama Raden Rahmat adalah
membangun masjid sebagai
pusat ibadah dan dakwah.
Kemudian ia membangun pesantren, mengikuti model
Maulana Malik Ibrahim di
Gresik. Format pesantrennya
mirip konsep biara yang
sudah dikenal masyarakat
Jawa. Raden Rahmat memang
dikenal memiliki kepekaan
adaptasi. Caranya
menanamkan akidah dan
syariat sangat
memperhatikan kondisi masyarakat. Kata ”salat” diganti dengan
”sembahyang ” (asalnya: sembah dan hyang). Tempat
ibadah tidak dinamai musala,
tapi ”langgar”, mirip kata sanggar. Penuntut ilmu
disebut santri, berasal dari
shastri –orang yang tahu buku suci agama Hindu. Siapa pun, bangsawan atau
rakyat jelata, bisa nyantri
pada Raden Rahmat. Meski
menganut mazhab Hanafi,
Raden Rahmat sangat toleran
pada penganut mazhab lain. Santrinya dibebaskan ikut
mazhab apa saja. Dengan cara
pandang netral itu, pendidikan
di Ampel mendapat simpati
kalangan luas. Dari sinilah
sebutan ”Sunan Ampel ” mulai populer. Ajarannya yang terkenal
adalah falsafah ”Moh Limo”. Artinya: tidak melakukan
lima hal tercela. Yakni moh
main (tidak mau judi), moh
ngombe (tidak mau mabuk),
moh maling (tidak mau
mencuri), moh madat (tidak mau mengisap candu), dan
moh madon (tidak mau
berzina). Falsafah ini sejalan
dengan problem kemerosotan
moral warga yang dikeluhkan
Sri Kertawijaya. Sunan Ampel sangat
memperhatikan kaderisasi.
Buktinya, dari sekian putra
dan santrinya, ada yang
kemudian menjadi tokoh
Islam terkemuka. Dari perkawinannya dengan Nyai
Ageng Manila, menurut satu
versi, Sunan Ampel dikaruniai
enam anak. Dua di antaranya
juga menjadi wali, yaitu
Sunan Bonang (Makdum Ibrahim) dan Sunan Drajat
(Raden Qosim). Seorang putrinya, Asyikah, ia
nikahkan dengan muridnya,
Raden Patah, yang kelak
menjadi sultan pertama
Demak. Dua putrinya dari istri
yang lain, Nyai Karimah, ia nikahkan dengan dua
muridnya yang juga wali.
Yakni Dewi Murtasiah,
diperistri Sunan Giri, dan Dewi
Mursimah, yang dinikahkan
dengan Sunan Kalijaga. Sunan Ampel biasa berbeda
pendapat dengan putra dan
murid-mantunya yang juga
para wali. Dalam hal
menyikapi adat, Sunan Ampel
lebih puritan ketimbang Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga
pernah menawarkan untuk
mengislamkan adat sesaji,
selamatan, wayang, dan
gamelan. Sunan Ampel
menolak halus. ”Apakah tidak khawatir kelak adat itu akan dianggap
berasal dari Islam?” kata Sunan Ampel. ”Nanti bisa bidah, dan Islam tak murni
lagi.” Pandangan Sunan Ampel didukung Sunan Giri dan
Sunan Drajat. Sementara
Sunan Kudus dan Sunan
Bonang menyetujui Sunan
Kalijaga. Sunan Kudus
membuat dua kategori: adat yang bisa dimasuki Islam, dan
yang sama sekali tidak. Ini mirip dengan perdebatan
dalam ushul fiqih: apakah adat
bisa dijadikan sumber hukum
Islam atau tidak. Meski
demikian, perbedaan itu tidak
mengganggu silaturahmi antarpara wali. Sunan Ampel
memang dikenal bijak
mengelola perbedaan
pendapat. Karena itu,
sepeninggal Maulana Malik
Ibrahim, ia diangkat menjadi sesepuh Wali Songo dan mufti
(juru fatwa) se-tanah Jawa. Menurut satu versi, Sunan
Ampel-lah yang
memprakarsai pembentukan
Dewan Wali Songo, sebagai
strategi menyelamatkan
dakwah Islam di tengah kemelut politik Majapahit.
Namun, mengenai tanggal
wafatnya, tak ada bukti
sejarah yang pasti. Sumber-
sumber tradisional memberi
titimangsa yang berbeda. Babad Gresik menyebutkan
tahun 1481, dengan
candrasengkala ”Ngulama Ampel Seda Masjid ”. Cerita tutur menyebutkan, beliau
wafat saat sujud di masjid.
Serat Kanda edisi Brandes
menyatakan tahun 1406.
Sumber lain menunjuk tahun
1478, setahun setelah berdirinya Masjid Demak. Ia
dimakamkan di sebelah barat
Masjid Ampel, di areal seluas
1.000 meter persegi, bersama
ratusan santrinya. Kompleks makam tersebut
dikelilingi tembok besar
setinggi 2,5 meter. Makam
Sunan Ampel bersama istri
dan lima kerabatnya dipagari
baja tahan karat setinggi 1,5 meter, melingkar seluas 64
meter persegi. Khusus makam
Sunan Ampel dikelilingi pasir
putih. Setiap hari, penziarah
ke makam Sunan Ampel rata-
rata 1.000 orang, dari berbagai pelosok Tanah Air. Jumlahnya bertambah pada
acara ritual tertentu, seperti
saat Haul Agung Sunan Ampel
ke-552, awal November lalu.
Pengunjungnya membludak
sampai 10.000 orang. Kalau makam Maulana Malik
Ibrahim sepi penziarah di
bulan Ramadhan, makam
Sunan Ampel justru makin
ramai 24 jam pada bulan
puasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar