SMS GRATIS ALL OPERATOR INDONESIA

Selasa, 05 April 2011

sunan kalijaga

SUNAN KALIJAGA HUTAN Jatiwangi, pada suatu
masa. Di rindang lebat
pepohonan jati di kawasan
Lasem, Rembang, Jawa
Tengah, itu dua lelaki berbeda
umur tegak berhadapan. Yang satu pemuda berpakaian serba
hitam. Di depannya seorang
pria lebih tua, dibalut busana
serba putih. Sebatang tongkat
menyangga tubuhnya. Pemuda berbaju hitam itu
bernama Lokajaya, berandal
yang gemar membegal
pejalan yang melewati hutan
Jatiwangi. Ia silau oleh
kemilau kuning keemasan gagang tongkat yang dibawa
pria berjubah putih. Siapa pun
orang berjubah putih itu,
layaklah ia menjadi mangsa
Lokajaya. Dan ketika tongkat
itu direbut, orang tua tadi sama sekali tak berlawan. Ia tersungkur di tanah,
kehilangan keseimbangan.
Tongkat berkepala emas itu
berpindah tangan. Bangkit
dari jatuhnya, orang tua itu
memberi nasihat, dengan tutur kata lembut. Nasihat
inilah yang mengubah jalan
hidup Lokajaya. Ia menjadi
murid orang tua itu --yang
tiada lain daripada Sunan
Bonang. Lokajaya sendiri kemudian dikenal sebagai
Sunan Kalijaga. Begitulah legenda Sunan
Kalijaga mengalir, dalam
berbagai versi. Jalan hidup
sunan yang satu ini tercantum
dalam berbagai naskah kuno,
babad, serat, hikayat, atau hanya cerita tutur turun-
temurun. Mudah dipahami
kalau muatannya berbeda-
beda. Begitu pula halnya
dengan asal-usul Sunan
Kalijaga. Menurut Babad Tanah Jawi,
Sunan Kalijaga adalah putra
Wilwatikta, Adipati Tuban.
Nama aslinya Raden Said, atau
Raden Sahid. Menurut babad
dan serat, Sunan Kalijaga juga disebut Syekh Malaya, Raden
Abdurrahman, dan Pangeran
Tuban. Gelar ''Kalijaga'' sendiri
punya banyak tafsir. Ada yang menyatakan,
asalnya dari kata jaga
(menjaga) dan kali (sungai).
Versi ini didasarkan pada
penantian Lokajaya akan
kedatangan Sunan Bonang selama tiga tahun, di tepi
sungai. Ada juga yang
menulis, kata itu berasal dari
nama sebuah desa di Cirebon,
tempat Sunan Kalijaga pernah
berdakwah. Kelahiran Sunan Kalijaga pun
menyimpan misteri. Ia
diperkirakan lahir pada 1430-
an, dihitung dari tahun
pernikahan Kalijaga dengan
putri Sunan Ampel. Ketika itu Sunan Kalijaga diperkirakan
berusia 20-an tahun. Sunan
Ampel, yang diyakini lahir
pada 1401, ketika menikahkan
putrinya dengan Sunan
Kalijaga, berusia 50-an tahun. Sunan Kalijaga dilukiskan
hidup dalam empat era
pemerintahan. Yakni masa
Majapahit (sebelum 1478),
Kesultanan Demak
(1481-1546), Kesultanan Pajang (1546-1568), dan awal
pemerintahan Mataram (1580-
an). Begitulah yang dinukilkan
Babad Tanah Jawi, yang
memerikan kedatangan Sunan
Kalijaga ke kediaman Panembahan Senopati di
Mataram. Tak lama setelah itu, Sunan
Kalijaga wafat. Jika kisah itu
benar, Sunan Kalijaga hidup
selama sekitar 150-an tahun!
Tapi, lepas dari berbagai versi
itu, kisah Sunan Kalijaga memang tak pernah padam di
kalangan masyarakat pesisir
utara Jawa Tengah, hingga
Cirebon. Terutama caranya
berdakwah, yang dianggap
berbeda dengan metode para wali yang lain. Ia memadukan dakwah
dengan seni budaya yang
mengakar di masyarakat.
Misalnya lewat wayang,
gamelan, tembang, ukir, dan
batik, yang sangat populer pada masa itu. Babad dan serat
mencatat Sunan Kalijaga
sebagai penggubah beberapa
tembang, di antaranya
Dandanggula Semarangan --
paduan melodi Arab dan Jawa. Tembang lainnya adalah Ilir-
Ilir, meski ada yang
menyebutnya karya Sunan
Bonang. Lariknya punya tafsir
yang sarat dengan dakwah.
Misalnya tak ijo royo-royo dak sengguh penganten
anyar. Ungkapan ijo royo-
royo bermakna hijau,
lambang Islam. Sedangkan
Islam, sebagai agama baru,
diamsalkan penganten anyar, alias pengantin baru. Peninggalan Sunan Kalijaga
lainnya adalah gamelan, yang
diberi nama Kanjeng Kyai
Nagawilaga dan Kanjeng Kyai
Guntur Madu. Gamelan itu kini
disimpan di Keraton Yogyakarta dan Keraton
Surakarta, seiring dengan
berpindahnya kekuasan Islam
ke Mataram. Pasangan
gamelan itu kini dikenal
sebagai gamelan Sekaten. Karya Sunan Kalijaga yang
juga menonjol adalah wayang
kulit. Ahli sejarah mencatat,
wayang yang digemari
masyarakat sebelum
kehadiran Sunan Kalijaga adalah wayang beber.
Wayang jenis ini sebatas
kertas yang bergambar kisah
pewayangan. Sunan Kalijaga
diyakini sebagai penggubah
wayang kulit. Tiap tokoh wayang dibuat
gambarnya dan disungging di
atas kulit lembu. Bentuknya
berkembang dan
disempurnakan pada era
kejayaan Kerajaan Demak, 1480-an. Cerita dari mulut ke
mulut menyebut, Kalijaga
juga piawai mendalang. Di
wilayah Pajajaran, Sunan
Kalijaga lebih dikenal sebagai
Ki Dalang Sida Brangti. Bila sedang mendalang di
kawasan Tegal, Sunan Kalijaga
bersalin nama menjadi Ki
Dalang Bengkok. Ketika
mendalang itulah Sunan
Kalijaga menyisipkan dakwahnya. Lakon yang
dimainkan tak lagi bersumber
dari kisah Ramayana dan
Mahabarata. Sunan Kalijaga
mengangkat kisah-kisah
carangan. Beberapa di antara yang
terkenal adalah lakon Dewa
Ruci, Jimat Kalimasada, dan
Petruk Dadi Ratu. Dewa Ruci
ditafsirkan sebagai kisah Nabi
Khidir. Sedangkan Jimat Kalimasada tak lain
perlambang dari kalimat
syahadat. Bahkan kebiasan
kenduri pun jadi sarana
syiarnya. Sunan Kalijaga mengganti
puja-puji dalam sesaji itu
dengan doa dan bacaan dari
kitab suci Al-Quran. Di awal
syiarnya, Kalijaga selalu
berkeliling ke pelosok desa. Menurut catatan Prof. Husein
Jayadiningrat, Kalijaga
berdakwah hingga ke
Palembang, Sumatera Selatan,
setelah dibaiat sebagai murid
Sunan Bonang. Di Palembang, ia sempat
berguru pada Syekh Sutabaris.
Cuma, keberadaan Sunan
Kalijaga di ''bumi Sriwijaya''
itu tidak meninggalkan
catatan tertulis. Hanya disebut dalam Babad Cerbon, Sunan
Kalijaga tiba di kawasan
Cirebon setelah berdakwah
dari Palembang. Konon,
Kalijaga ingin menyusul Sunan
Bonang, yang pergi ke Mekkah. Tapi, oleh Syekh Maulana
Magribi, Kalijaga
diperintahkan balik ke Jawa.
Babad Cerbon menulis, Sunan
Kalijaga menetap beberapa
tahun di Cirebon, persisnya di Desa Kalijaga, sekitar 2,5
kilometer arah selatan kota.
Pada awal kedatangannya,
Kalijaga menyamar dan
bekerja sebagai pembersih
masjid Keraton Kasepuhan. Di sinilah Sunan Kalijaga
bertemu dengan Sunan
Gunung Jati. Kisah
pertemuannya rada-rada
aneh. Sunan Gunung Jati
sengaja menguji Kalijaga dengan sebongkah emas.
Emas itu ditaruh di padasan,
tempat orang mengambil
wudu. Kalijaga sendiri tak
kaget mengingat ajaran Sunan
Ampel, ''ojo gumunan lan kagetan'' (jangan mudah
heran dan terkejut). Ia ''menyulap'' emas menjadi
batu bata, dan menjadikannya
tempat menaruh bakiak bagi
orang yang berwudu. Giliran
Sunan Gunung Jati yang
takjub. Ia pun ''menganugerahkan'' adiknya,
Siti Zaenah, untuk diperistri
Sunan Kalijaga. Hanya
beberapa tahun Sunan Kalijaga
dikisahkan menetap di
Cirebon. Dakwahnya berlanjut ke arah
timur, lewat pesisir utara
sampai ke Kadilangu, Demak.
Di sinilah diyakini Sunan
Kalijaga menetap lama hingga
akhir hayatnya. Kadilangu merupakan tempat Sunan
Kalijaga membina kehidupan
rumah tangga. Istri yang
disebut-sebut hanyalah Dewi
Sarah, putri Maulana Ishak. Pernikahan dengan Dewi
Sarah itu membuahkan tiga
anak, satu di antaranya Raden
Umar Said, yang kelak
bergelar Sunan Muria. Sunan
Muria dan Sunan Kudus tergolong satu aliran dalam
berdakwah dengan Sunan
Kalijaga. Metode dakwah
aliran Kalijaga itu amat keras
ditentang Sunan Ampel,
mertuanya, dan Sunan Drajat, kakak iparnya. Hingga kini para pengikut
ajaran Sunan Kalijaga, Sunan
Muria, dan Sunan Kudus
dikenal dengan sebutan
kelompok ''Islam abangan''.
Julukan ini hingga kini melekat pada masyarakat di
sepanjang pesisir utara, dari
Demak, Semarang, Tegal,
hingga Cirebon. Selain dakwah
dengan kontak budaya, kisah
spektakuler lainnya adalah pendirian Masjid Agung
Demak. Babad Demak menyebutkan,
masjid itu berdiri pada 1477,
berdasarkan candrasengkala
''Lawang Trus Gunaning
Janma'' --bermakna angka
1399 tahun Saka. Kisah pendirian Masjid Agung
Demak sendiri banyak
bercampur dengan dongeng.
Masih belum jelas, benarkah
kesembilan wali berada di
tempat ini dalam satu waktu. Untuk keperluan dakwah,
Syarif Hidayatullah pada
tahun itu juga menikahi Ratu
Kawunganten. Dari
pernikahan ini, dia dikarunia
dua putra, Ratu Winahon dan Pangeran Sabangkingking.
Pangeran Sabangkingking
kemudian dikenal sebagai
Sultan Hasanudin, dan
diangkat jadi Sultan Banten.
Ratu Winahon, yang lebih dikenal dengan sebutan Ratu
Ayu, dinikahkah dengan
Fachrulllah Khan, alias
Faletehan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar